Sabtu, 30 April 2011

RI dan NII; Satu Wilayah Dua Negara


Pengertian tentang Negara secara umum adalah; ↲


1. Disebut Negara jika ada pemerintah. ↲



2 . Mempunyai penduduk atau ada rakyat. ↲



.3. Mempunyai wilayah kedulatan yang syah dan jelas batas-batasnya. ↲



4. Mendapat pengakuan dari negara lain terutama negara yang berbatasan. Selain ke 4 poin diatas ada lagi tambahan tentang identitas nasionalisme yaitu; bendera, bahasa resmi, lagu kebangsaan, mata uang dan ideologi negara. ↲



Republik Indonesia jelas sudah memenuhi segala persyaratan tersebut diatas bahkan sudah mapan sebagai suatu negara berdaulat dan cukup berpengaruh di Asia tapi bagaimana dengan NII? Berdasar info yang ramai disiarkan media maka diketahui bahwa; ↲



NII sudah memiliki sistim organisasi mirip pemerintahan, NII sudah punya pengikut yang mengaku sebagai warga negara NII, NII mempunyai wilayah kerja operasional tapi wilayah tersebut bukanlah wilayah kekuasaan NII tapi masih dalam kekuasan negara RI, jika NII mau jadi negara sesuai kriteria diatas maka yang mereka harus miliki adalah wilayah kekuasaan, wilayah ini bisa didapatkan dengan mengambil alih wilayah RI sebagian atau seluruhnya, apakah ini dapat terwujud ? Perlu diketahui bahwa RI mempunyai perangkat pertahanan negara yang cukup kuat dan tak mungkin dapat ditaklukkan oleh kelompok bersenjata yang abal-abal saja. Kondisi ini tentu mendorong NII untuk melakukan gerakan politik agar dapat memperoleh bahkan menguasai posisi politik penting dalam percaturan politik dalam negri serta birokrasi pemerintahan. Mengingat adanya kegiatan pengumpulan dana yang aktip dan massif maka dapat diduga bahwa dana yang terkumpul cukup besar, dana ini dapat saja dipakai membiayai politisi tertentu dari berbagai partai politik atau pejabat penting tertentu dalam organisasi pemerintahan. membandingkan NII dengan kelompok pembom yang memakai mercon dan bahan pupuk maka NII kelihatan lebih cerdik tapi jika NII dan tukang Bom bersekutu bisa saja mengacaukan RI. walau kelihatannya gerakan NII nampak tidak mengancam eksistensi pemerintah secara langsung tapi jelas bahwa gerakan ini makin meluas dan meresahkan masyarakat

Selasa, 26 April 2011

FORGIVE ME ( In Memorian with YA)



cari lah tulang rusuk yg lebih kuat untuk mu...
aku tidak ingin membuat mu sakit lagi....
cukup sampe di sini aku menyakitimu
anggap lah aku sebagai adik mu
karna hanya itu yang bisa aku terima dan aku berikan...


a.....
lupakan perasaan mu untuk ku
aku tidak akan pernah bisa mencintai mu....
aku hanya bermaksud untuk membahagiakan mu...
dan hanya ingin membuat mu bahagia...


maafkan atas semua kebodohan ku...
aku tau aku salah
aku menyesal melakukan semua
v semua sudah terjadi
dan sekarang hanya ini yang bisa q ucapkan untuk mu...


buka lah hati mu...
mereka masih ada untuk mu.
aku tidak akan pernah bisa menjadi tulang rusuk mu yg kuat....
aku minta maaf.........



(Missing named)

SIAPA PEMIMPIN KITA..??

"SIAPA DAN SEPERTI APA PEMIMPIN yang HARUS kita pilih
 untuk mengemban misi dan aspirasi kita UNTUIK MENUJU SEBUAH MASYARAKAT MADANI."

Tentunya, kita tidak serta merta memilih seorang pemimpin menurut subjektifitas pribadi, dan kita jangan sampai memilih seorang pemimpin yang terlalu berambisi untuk meraih kursi kepemimpinan-(boleh dibaca: ambisius)- demi kepentingan pribadinya. 
Sebab, pemimpin tidak tercipta karena keinginannya untuk berkuasa, tetapi ia tercipta karena bakat dan keterpanggilan hatinya secara ikhlas, ia terpanggil untuk menata keadaan di sekelilingnya agar terjadinya suasana yang lebih kondusif. Mungkin, saat ini kita sedang merindukan sosok seorang pemimpin sejati yang tentunya harus memiliki integritas moral, kesalehan pribadi dan sosial, kecerdasan akal dan latar belakang yang beradab.



Pemimpin sejati, tentunya harus lulus ujian dari roda kehidupannya sehari-hari. Bakat dan keterpanggilannya sebagai pemimpin akan terpeta lewat sikap dan kecakapannya dalam mengatasi berbagai problematika sosial yang yang sedang terjadi dihadapannya. Pemimpin sejati juga harus memiliki respon yang tertinggi terhadap dinamika dan perubahan, peka terhadap penderitaan, serta selalu bersikap terbuka terhadap saran maupun kritik yang dihujamkan kepadanya. 
Adalah sebuah keniscayaan bahwa seorang pemimpin sejati menggenggam kecerdasan-intelektual, emosional dan spiritual yang seimbang dan diterjemahklannya dalam gaya hidup ngayomi, berani dan rendah hati.
Semoga pemimpin sejati mampu hadir di tengah-tengah kita sebagai pengayom aspirasi rakyatnya, sebagai sosok rendah hati, mampu bersikap moderat dan tentunya ia bukan sosok seorang ambisius untuk meraih jabatan-jabatan strategis dalam sebuah kursi kepemimpinan. Amiin..



Lantas, SIAPAKAH YANG PANTAS UNTUK MENJADI PEMIMPIN dalam sebuah komunitas dan yang bisa membawa progresifitas dalam sedikit atau banyak hal???

FITRAH MANUSIA SEBAGAI PEMIMPIN

”Jig tong, di do’akeun sing meunang.
Tapi lamun geus meunang korsi, 
ulah poho kana ayat kursi jeung ulah Korupsi!!!”


Menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah, tapi itu bukan hal yang sangat berat dan membebani kita. Untuk menjadi seorang pemimpin, kebanyakan orang sering merasa bahwa menjadi seorang pemimpin itu sulit, bahkan terkadang menjadi hal yang sangat menakutkan.

Mungkin paradigma awal itu terbentuk karena terlalu phobia mendengarkan kisah-kisah seorang pemimpin yang begitu banyak memerlukan perjuangan dan pengorbanan untuk memimpin bawahannya.
Ketakutan seseorang untuk menjadi seorang pemimpin, mungkin karena ia merasa bahwa dalam kursi kepemimpinannya nanti ia akan bekerja secara sendiri. Ia terlalu berfikir bahwa tidak akan ada seseorang yang akan membantu tugasnya sebagai seorang pemimpin. Bahkan lebih ironisnya lagi adalah, kebanyakan orang sering beranggapan bahwa dirinya tidak mampu bila ia menjadi seorang pemimpin.
Bukankah itu sebuah pemikiran yang sangat memprihatinkan bagi kita semua? Harus ada perubahan mind-set berfikir dan pemahaman kesadaran akan fungsi dan fitrah manusia sebagai seorang pemimpin, sehingga kesalahan berfikir (fallacy logic) dapat dihindari. Karena sebuah adat, kebudayaan, bahkan kehidupan abad modern yang tengah dibangun ini berawal dari sebuah proses pemikiran –dari alat berfikir- kita. Dan akibat dari cara berfikir kita yang salah, akhirnya kita malah berusaha menyengsarakan diri kita sendiri. Termasuk melemahkan fitrah kita sebagai seorang khalifah atau pemimpin di muka bumi.

Pada sejatinya kita adalah seorang pemimpin. Kita adalah pemimpin bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Namun, orang sering tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemimpin. Bukan hanya pemimpin bagi orang lain, bahkan ia tidak sadar bahwa dirinya juga adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. 
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat : sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi” (QS. 2:30). Al-Maraghi menyatakan bahwa makna khalifah diartikan sebagai jenis lain dari makhluk sebelumnya, atau dapat juga berarti sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan perintah-PerintaNya terhadap ummat manusia di muka bumi. 

Sebenarnya cukup sederhana dan tak perlu memerlukan banyak referensi untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal. Meskipun banyak tipologi dan metodologi dalam kepemimpinan, toh kita sendiri yang harus berimprovisasi dalam menjalankan kursi kepemimpinan untuk menjadi sosok pemimpin hangat yang dibutuhkan oleh bawahan kita. Referensi kita untuk menjadi seorang pemimpin yang baik dan amanah sebenarnya cukup Al-Qur’an dan as sunnah, bahkan, bisa dikatakan itu merupakan referensi yang lebih dari cukup. 
Abdul A’la al-Maududi menyatakan beberapa konsepsi ringkas tentang kekhalifahan, bahwa Pertama, manusia bukanlah penguasa mutlak, melainkan hanya wakil Allah yang mahakuasa (QS 2:31; 7:22). Kedua, setiap bangsa yang memperoleh kekuatan dan wewenang berkuasa di sebagian bumi ini sesungguhnya hanyalah wakil Allah atas daerah yang dikuasainya tersebut (QA 7:69, 74, 120; 1: 14). Ketiga, kekhalifahan yang syah, tidak dianugerahkan kepada satu pribadi tertentu saja, tidak juga kepada suatu warga atau kelas dari satu komunitas tertentu, melainkan kepada setiap orang yang yang beriman dan beramal saleh (QS 24:55).
Dari penjelasan di atas, sangat jelaslah bahwa semua orang itu adalah seorang pemimpin. Potensi kekhalifahan (kepemimpinan) manusia itu tidak untuk sebagian orang saja, melainkan untuk semua orang yang mampu beriman dan melakukan amal perbuatan yang baik bagi sesamanya. Dan untuk mencapai fitrah manusia sebagai seorang pemimpin, manusia harus melakukan usaha-usaha karena di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan, manusia memiliki posisi yang sangat unik dari makhluk ciptaan Allah lainnya.

Manusia diberi kebebasan berkehendak agar dirinya dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Misi inilah –perjuangan untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang bermoral atas dunia- yang disebut Al-Qur’an sebagai ”amanah” (QS 33:72). Karena itu, kekhalifahan (kepemimpinan) bagi manusia adalah ”amanah, tugas, dan sekaligus tanggung jawab”. Amanah kekhalifahan tersebut dapat dipikul oleh manusia, berkat karunia dan kasih sayang Allah yang memberi berbagai kelebihan kepada manusia, berupa akal, ilmu pengetahuan, hati, dan kebebasan berkehendak, sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengungkapkan berbagai rahasia makhluk ciptaan Allah lainnya.

Jadi, sebagai manusia yang bertanggung jawab dan menghargai akan anugerah Tuhan yang telah diberikan kepada kita, kita harus berkata ”ya” dan ”menyatakan kesiapan” ketika kita ditunjuk untuk memegang sebuah amanah kepemimpinan yang dihadapkan kepada kita. Dan petikan di awal tulisan ini seharusnya menjadi bahan ingatan bagi seorang pemimpin, bahwa selama dalam kepemimpinannya, seorang pemimpin jangan menyelewengkan kekuasaan dengan memperkaya diri dan senantiasa membawa bawahannya menuju jembatan jalan yang lurus (shiraath al mustaqiem) untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang diridhoi Allah subhanahu wata’ala.

DEAR BROTHERS

Dear saudaraku,
Saudaraku, maafkan kami dengan sebenar-benarnya permintaan maaf yang begitu tulus dari sanubari kami. Sempurnakanlah permintaan maaf kami dengan menganggukan kepala yang dipenuhi rasa pasrah & tulus atas kehendak dari-nya...
Namun saudaraku, janganlah kau anggukan kepalamu untuk mengakhiri hela nafasmu yang telah begitu setia mengalunkan keyakinan & keteguhan diantara pendengaran kami yang semula kami tak pernah mau mendengarnya...
Aku mohon saudaraku, jangan kau bersikap demikian demi semua kerelaanmu terhadap apa yang sedang kalian perjuangkan hingga saat ini...

Karena kini, kami mulai membuka telinga untuk mendengar setiap jerit nada yang kalian alunkan dengan penuh kekhusyuan di dalamnya...
Menjeritlah kalian dihadapan kami, menjeritlah saudaraku... Karena kami pun tak sedikit untuk menjadi tuli...
Saudaraku, ikhlaskanlah atas semua cerita yang telah kau hamparkan diantara seluruh pandangan kami... Kami seharusnya tertunduk malu ketika melihat mata kalian yang begitu merah lagi basah karena tanpa sengaja kalian t’lah menjamahi kepedihan yang seharusnya tak kalian rasakan hingga saat ini...

Tabahlah saudaraku, tabahlah, karena keyakinan kita tak akan pernah gugur sampai waktu menghentikan lajunya di bumi ini...
Tabahlah saudaraku, karena sebisa yang kami bisa, kami akan selalu menyeka setiap tetes air mata kalian...
Jila perlu, akan kami teguk air mata kalian agar kita semua kepedihan & penderitaan yang kalian rasakan berada dalam hati kami...
Saudaraku... tetaplah kalian berjuang dengan tali yang telah kita rentangkan bersama...

AIR MATA

Air mata itupun seketika jatuh… 
tetes demi tetes, semuanya mengalir dengan penuh irama, 
seolah menghantarkan segala kepedihan yang ada padanya dengan penuh rasa luka, duka, 
dan semuanya pun berkumpul dalam linangan air matanya yang begitu bening, 
dalam air mata yang terelakan oleh indera…


Air mata itupun kembali jatuh, 
seolah tak pernah habis butiran demi butiran yang membasahinya... 
Tak pernah ada rasa kecewa dari mulut mereka, 
hingga semuanya membisu, 
hanya tatapan mata anak-anak lugu danpolos yang berusaha memberanikan diri mereka untuk menerka semua yang ada dihadapannya…
mereka membungkus semuanya dengan kekalutan yang ada pada jiwa mereka… bukan kita??

Sekali lagi, air mata itupun jatuh membasahi bumi ini... 
Ia tak akan pernah berhenti membasuh nurani kita lewat sekaan air mata yang mereka alirkan lewat keteguhan hatinya di bumi ini...
Mata mereka, yang semula memancarkan setiap mimpi dalam penglihatannya...
Kini, mimpi itu telah terbungkus oleh air mata mereka...
Air mata di bumi palestina…

AKU DAN KATA

Semuanya berawal dari sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagiku, peristiwa yang sebelumnya tidak aku rencanakan sedikitpun. Namun, yang sebenarnya ada satu hal atau bahkan mungkin lebih dari itu yang tanpa ku sadari di depan langkahku ada sebuah sekenario Tuhan yang telah membukakan jalan terang yang merupakan titik awal enlightment (pencerahan) dalam pemahaman hidupku selama ini.


Sore itu, sebuah rencana yang akan aku refleksikan sebagai konsistensi diriku dengan apa yang telah aku ucapkan pada seseorang. Seseorang yang telah aku rasa sebagai bagian penopang dalam mimpiku selama ini, mimpiku untuk merasakan indahnya kebersamaan dengan kewibawaanku sebagai seorang kakak. Ya, orang itu kurasakan sangat memenuhi kriteria idaman yang selama ini berhamburan dalam otakku. Kriteria seseorang yang simple, pendengar yang baik dan tipikal orang yang mau untuk ku ajak berkontemplasi dengan rasioku sendiri, rasio tanpa adanya sebuah referensi. Rasio yang menurutku sangat wajar, aku tak terlalu memerlukan seorang informan, karena itu hanyalah pemikiran statis mereka, pemikiran tanpa alur dan dinamika yang tak substantif. Sesuatu hal yang sangat membuatku jenuh dan membuatku merasa bukan sebagai seorang manusia lagi, atau dengan kata lain bisa ditulis dengan kata yang sangat elegan, ialah aku merasa bukan sebagai ”khalifah fil ardh” Tuhan di muka bumi ini. Aku sangat mengagumi rasioku sendiri daripada rasio mereka, sebab aku terlalu menghargai dzat yang telah melimpahkan anugrah pada diriku sendiri. Aku takkan menjadikan mereka tuhan-tuhan kecil dengan menjadikan rasio pemikirannya sebagai kiblatku dalam berucap. Karena satu yang selalu dan harus ku jadikan sebagai referensiku, ialah sesuatu dzat yang sangat ideal. Dzat yang selalu membuatku nyaman dengan idealisme yang ku letakkan, karena tujuan utamaku adalah menuju sebuah dzat yang sangat ideal dengan cara yang ideal pula.

Sesaat dalam perjalananku, aku berusaha untuk mengulur waktu yang dengan sengaja telah menghantam ketenanganku. Ketika dia berada di belakangku dan berjalan dengan penuh irama yang sempat membuatku tertawa mungil, ku abaikan bising kanan-kiri yang kadang menghujam pembicaraanku dengannya. Seketika pula, ketenangan itupun datang menyelimuti keresahan yang selama ini sering bersandar di pikiranku. Jalan-jalan yang sebenarnya gelap ketika kami melewatinya, bermetamorfosa memberikan cahayanya yang sederhana, meskipun redup, namun itulah hal yang menurutku sangat berarti ketika bersamanya. Karena cahaya yang paling terang bagiku saat itu adalah ketika dia berusaha memberikan tawanya untukku, tawa yang membuat resahku memaksa diri untuk pergi dari benak dan fikiranku. Meskipun tawanya kadang penuh dengan keterpaksaan, namun itu sesuatu yang ku anggap sangat natural. Karena menurutku takkan pernah ada seorangpun yang merasa dirinya ikhlas melakukan segala hal, meskipun mereka menyatakan melakukan semuanya demi dzat yang esa, dan akan menerima konsekuensi dari yang diaplikasikannya dalam sebuah alam yang ghaib, apakah itu sebuah nama yang dikatakan ’keikhlasan’?.

Dulu, sebelum ketika aku berhasrat untuk mencari definisi tentang dirinya, aku tak sempat menjelaskan semua makna tentang alfhabet. Aku hanya sempat berucap kata ”a”, dan tak sedikitpun makna yang kujelaskan padanya. Aku hanya sempat membunyikan suara dengan makna yang kosong. Itu bukan karena ”curiosity” ataupun ”sense of attention” ku yang memudar, namun hanya seseorang yang kurasakan sangat tepat untuk mengetahui makna dari alfhabet yang terangkai sangat sistematis itu. Bukan pula aku terlalu menghamburkan egoku sendiri, namun aku hanya bersandar pada rasio sederhana yang aku miliki. Dan yang aku rasakan itu merupakan sesuatu yang wajar, karena aku mempunyai hak perogratif atas segala hal yang berkaitan dengan diriku sendiri. Apakah aku salah dengan itu semua? apakah aku tak perlu melakukan itu dengan menistakan rasioku sendiri? Kurasa, itu bukanlah sesuatu yang tak perlu diperdebatkan, karena yang terpenting bagiku adalah bagaimana aku bisa mencari sesuatu yang ideal dan kembali dengan cara yang ideal.
Seperti perkataan dalam bahasa arab yang menyatakan; ”Innalillahi wa inna ilaihiraji’uun”. Sebuah kata yang tidak hanya mengandung semua rasa ketakutan bagi orang awam yang mendengarnya. Selain mengandung sebuah makna yang magic, namun itupun mengandung makna yang sesungguhnya sangat sakral dan substansial. Yang tak lain adalah ”sesuatu yang berawal dari Tuhan pasti akan kembali kepada-Nya”. Banyak sekali orang-orang awam mempersefsikan bahwa itu adalah sebuah ilusi ’tentang sakaratul maut’, ilusi orang-orang tentang kematian, hal klasik yang sering diperdebatkan para sufistik.

Kita terlalu dibuai oleh Pemahaman yang sangat sempit dari sebuah implikasi dengan doktrinasi yang kurang relevan, bahkan kemungkinan besar bisa sangat fatal. Seolah-olah kita tidak dibiarkan menjadi manusia yang benar-benar memanusiakan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri kita sendiri, menghambat kemanusiaan kita dengan proses kemandegan dalam berfikir. Karena salah satu kenapa manusia di tinggikan derajatnya dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain adalah dari rasio (akal) yang Tuhan anugerahkan kepada kita.
Apakah kita berwujud dalam lantai Tuhan ini hanya untuk mempermasalahkan hal-hal yang tidak ideal seperti itu? Hal-hal yang sering mempermasalahkan persoalan yang ghaib, perdebatan mulai dari kapan bumi ini berwujud, sampai perdebatan mengenai kapan bumi ini akan diberhentikan waktunya, dan ketika matahari berlari tak tahu dimana tempat yang sesungguhnya sangat ideal baginya, hingga sangkakala Tuhan mulai diperdengungkan di hadapan manusia hingga mereka bertebaran layaknya kapas. Apakah itu sebuah hal yang mesti diperdebatkan oleh kita?

Sampai-sampai kita sering terlena terhadap sejarah klasik dari kaum-kaum samiri, bahwa dikatakannya ada sebuah perwujudan irasional dari sosok manusia di zamannya itu, dan dia adalah salah satu makhluk yang ditangguhkan batas usianya di muka bumi ini oleh Tuhan. Para penggila keghaiban sejarah sering mengkultuskan dia sebagai suatu hal yang bisa menghancurkan peradaban cerah bumi yang selama ini telah di metamorfosis oleh Sang Revolusioner Zaman, Nabi Muhammad SAW.

Dalam perspektif filsafat, perkataan ”Innalillahi wa inna ilaihiraji’uun” berarti menuju sebuah tujuan yang pada hakikatnya adalah suatu dzat yang sangat ideal, ”sesuatu yang berawal dari yang ideal harus menuju sebuah pencapaian akhir dengan cara yang ideal pula”. Sebuah makna adiluhung yang penuh dengan makna keseimbangan. Bukankah ideal berarti menempatkan sesuatu yang harus berada pada tempatnya?

Kita merupakan sebuah bentuk manifestasi dari Tuhan, kita dan alam semesta adalah miniatur-miniatur Tuhan. Ada beberapa proses kejadian ketika Tuhan berfikir dan bercermin. Ketika Tuhan berfikir lalu terciptakan malaikat dan kemudian Ia bercermin, Ia tidak bisa melihat wujudnya dalam cermin meskipun unsur ciptaannya berawal dari nur. Kemudian, ketika Tuhan berifikir lalu terciptakan jin dan kemudian Ia bercermin kembali, Ia tidak melihat wujud-Nya dalam. Ketika Tuhan berfikir lalu terciptakan hamparan bumi, Ia masih tidak bisa melihat wujudnya dalam cermin. Namun, ketika Tuhan berfikir tentang suatu yang ideal kemudian terciptakanlah adam dalam bentuk manusia, dan ketika Tuhan bercermin ia bisa melihat wujudnya dalam cermin. 

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah Mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ”bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab : ”betul (Engkau Tuhan kami)”, kami menjadi saksi ...”

Harus ada sebuah kesadaran dalam diri setiap manusia agar ia bisa kembali menjadi sesuatu yang ideal, sebuah bahwa dia adalah manifestasi dari Tuhan itu sendiri, Sebuah kesadaran pula bahwa sifat-sifat Tuhan yang sesungguhnya telah dan masih termaktub dalam dirinya. Idealisme yang ideal dalam diri manusia adalah ketika dia menemukan kembali kefitrahannya. Fitrah manusia yang diawali dengan perjanjian primordial dalam bentuk pengakuan kepada Tuhan sebagai Dzat pencipta. Bentuk pengakuan tersebut merupakan penggambaran ketaklukan manusia kepada dzat yang lebih tinggi. Kesanggupannya menerima kontrak primordial tersebut mendapat konsekuensi logis dengan peniupan ruh Tuhan kedalam jasad manusia yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan terhadapa apa yang dilakukannya di dunia kepada pemberi mandat kehidupan.

Peniupan ruh Tuhan sekaligus menggambarkan refleksi sifat-sifat Tuhan kepada manusia. Maka seluruh potensi illahiyah secara ideal dimiliki oleh manusia. Prasyarat inilah yang memungkinkan manusia menjadi khalifah dimuka bumi. Seyogyanya tugas kekhalifan manusia dibumi berarti menyebarkan nilai-nilai illahiyah dan sekaligus menginterpretasikanrealitas sesuai dengan persfektif illahiyah tersebut. Namun proses materialisasi manusia melalui jasad menimbulkankensekuensi baru dalam dalam wujud reduksi nilai-nilai illahiyah. Manusia hidup dalam realitas fisik yang dalam konteks ini manusia hanya ”mengada” (being). Hanya dengan ”kesadaran” (consiousness) lah manusia menemukan realitas ”menjadi” (becoming). Manusia yang menjadi adalah manusia yang mempunyai kesadaran akan aspek transenden sebagai realitas tertinggi dalam hal ini konsepsi syahadat akan ditafsirkan sebagai monoteisme radikal. Kalimat syahadat pertama berisi negasi yang seolah meniadakan semua yang berbentuk tuhan. Kalimat kedua lalu menjadi afirmasi sekaligus penegasan atas Zat yang maha tunggal (Allah). Menjiwai konsepsi diatas maka perjuangan manusia adalah melawan sesuatu yang membelenggu manusia dari yang di-Tuhan-kan. Itulah thogut dalam persfektif Qur’an.

Dalam menjalani fungsi kekhalifahannya, maka internalisasi sifat-sifat Allah dalam diri manusia harus menjadi sumber inspirasi. Dalam konteks ini tauhid menjadi aspek progresif dalam menyikapi persoalan-persoalan mendasar manusia. Karena tuhan adalah pemelihara kaum yang lemah (rabbulmustadh’afin); maka meneladani Tuhan juga berarti keberpihakan kepada kaum mustadh’afin. Pemahaman ini akan mengarahkan pada pandangan bahwa ketauhidan adalah nilai-nilai yang bersifat transformatif, nilai-nilai yang membebaskan, nilai yang berpihak dan nilai-nilai yang bersifat revolusioner. Spirit inilah yang harus menjadi paradigma dalam sistem pemikiran kita.
Islam sebagai landasan nlai yang secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah yang terjadi dalam suatu komunitas/masyarakat (transformatif). Ia mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan dan idealisme yang dicita-citakan, yang untuk tujuan dan idealisme tersebut mereka rela berjuang dan berkorban bagi keyakinannya. Ideologi Islam senantiasa mengilhami dan memimpin serta mengorganisir perjuangan, perlawanan dan pengorbanan yang luar biasa untuk melawan semua status quo, belenggu dan penindasan terhadap umat Islam.

YaKoeSa...

* Ditulis dalam memenuhi salah satu tugas kemanusiaan, memanusiakan diri sendiri & orang lain.

SEDETIK YANG BERARTI

”Aku akan tetap bertarung disini,
bertarung dengan hasratku sendiri.
Meski awalnya itu sulit,
namun aku akan tetap diam.
Aku akan tetap diam dan mulai bicara dengan rasaku sendiri...”



Aku sadari, semua kini tak seperti dulu. Setiap tawa yang kau bisikkan di setiap lekuk telinga kini tak lagi terdengar. Seolah semua menjadi tuli. Semua seperti menghujam sangat keras saat kau berkata; ”tinggalkan aku Abi, mungkin tak semestinya kita bersama untuk saat ini. Aku yakin, kau mampu berhati besar menerima keputusanku ini. Kau juga harus tahu Bi, bahwa keputusanku ini tidak dengan sekejap dengan ku membayangkanmu. Kau harus tahu Abi, bahwa keputusanku ini tidak kulakukan dalam satu kedipan. Kau juga harus tahu Abi, bahwa keputusan ini yang paling tepat untuk kita berdua. Aku sudah berpikir banyak untuk mengatakan keputusan berat ini. Aku harap kau mampu untuk menerimanya, menerima semua keputusanku ini Bi. ”


Seketika dadaku begitu sesak, menghentikan aluran udara dalam diafragma kesetiaanku padanya. Kesejukan yang kurasa, tiba-tiba menjadi sangat menyakitkan setiap helaan nafasku untuknya, nafas yang senantiasa kuhembuskan lewat ketulusan cinta yang kusimpan dalam kepingan hatiku ini.


Ya, terkadang memang semua berlalu dengan sangat cepat. Seperti ketika ia mengatakan halitu padaku, hal yang menurutnya paling adil untuk diputuskan.


Mungkin semua ini memang salahku, aku terlalu mencintainya dengan sepenuh perasaan yang ku punya untuk seluruh manusia yang ada dalam bumi ini. Mungkin ia tak sangggup menerima gumpalan-gumpalan hasratku untuk menyayanginya di dalam genggamanku. Mungkin ia terlalu silau melihat keinginanku yang terlalu terang untuk sepenuhnya mencintai dia dalam kesetiaanku.


Mataku seketika kosong, tak ada tatapan yang berarti setelahnya. Aku hanya tak bisa mengerti mengapa ia berani memutuskan hal seperti itu


Lalu, kulihat ia dengan tatapan sederhana yang masih tersisa, mungkin itu tatapan terakhir untuknya, mungkin saja, sebab saat itu aku sedang berada dalam kepolosan menatap seorang wanita yang sebelumnya sangat aku harapkan untuk selalu bersama dalam bingkai-bingkai asmara yang telah kami rangkai bersama.


”Abi, kau baik-baik saja kan?” Suara itupun terdengar bergemetar dari bibir tipisnya,


Suara itu semakin membuat hatiku tak mampu bicara. Aku tak berani untuk menatapnya, karena aku terlalu takut membayangkan ini adalah saat terakhir menatapnya dengan penuh seribu tanda tanya. Tapi aku tak ingin bahwa aku terlalu lemah, terlalu lemah untuk memulai satu kata yang itu sangat berat kukatakan.


Ketegaranku sebagai seorang pria dewasa tampaknya dipertaruhkan disini. Sebuah harapan untuk merajut kasih sayang bersamanya kini tak ada lagi, aku harus berusaha untuk menutupnya. Aku harus berani, aku harus berani memulai cobaan yang sangat berat untukku.


”Abi... Abi, kau baik-baik saja kan?” Dan kata itu pun terdengar lagi ditelingaku, pertanyaan yang mengundang seribu makna yang ia tujukan untukku. Berulang kali sampai akhirnya kujawab dengan penuh lirih dan terbata-bata.


”mmm... Ya, kenapa Ri?” lirihku menjawab tanya darinya.


”Kau baik-baik saja kan Bi?? Atau...” getarnya padaku.


ku potong, dan kulanjutan perkataanya, karena aku takut ia akan mengasihiku karena keputusan yang ia sampaikan padaku tadi.


”Hmmm... Aku? Tenanglah Ri, aku baik-baik aja ko!”


”Benar kau baik-baik saja Bi?? Aku tahu ini berat bagimu, tapi,,, aku harap kau juga mau mengerti perasaanku Bi...” lirihnya.


”Bahwa kau tak mencintaiku lagi Ri?! Itukah yang membuatmu mengambil keputusan ini??” tanyaku lagi sambil sedikit memotong kembali ucapannya.


”Bukan Bi, bukan itu. Aku juga ingin kau tahu bahwa aku juga sangat berat mengambil keputusan ini, meskipun sebenarnya aku masih sangat mencintaimu. Aku mohon Bi, aku mohon padamu jangan menyakitiku dengan mengatakan hal seperti itu lagi... aku mohon padamu Bi...”


”Lantas apa Ri, jelaskan padaku...!!! aku hanya ingin mendengar satu alasan yang paling masuk akal sehingga kau memutuskan untuk seperti ini??? Apa Ri, coba jelaskan padaku...”


Seketika itu, semua menjadi hening. ia juga diam, diam dengan sedikit mencuri pandanganku. Mungkin ia sedikit ingin tahu raut wajahku ketika aku mendengar semua yang ia ucapkan. Ia semakin tak bisa menahan gelagat penyesalannya terhadapku, raut wajahnya penuh cemas dan kulihat semakin gundah. Sedangkan aku, aku hanya bisa diam dengan segudang rasa tanda tanya terhadapnya, aku sama sekali tak menyangka ia berbuat seperti itu. Bahkan aku sama sekali tak berpikir bahwa ia akan mengambil keputusan seperti itu.


Kami diam untuk beberapa waktu, tak ada kata, hanya ada sapuan angin yang berusaha menampar keheningan diantara kami, dan aku pun berusaha untuk menetralkan semua pikiran burukku untuk beberapa saat, dan hingga pada akhirnya aku berusaha untuk bersikap dewasa dan menatap matanya dengan penuh kelegaan yang mendera hatiku seketika itu. Perlahan, kuarahkan tanganku untuk merangkul tangannya, memegang dengan penuh pengharapan terakhirku untuknya, kupegang erat, dan aku mencoba untuk memegang dengan penuh kehati-hatian.


”Ri, kurasa memang semuanya harus berakhir disini. Meskipun semuanya begitu cepat, dan aku sendiri tak mengerti semua itu, entah lewat apa aku akan memahaminya, namun, semua itu harus aku terima dengan penuh rasa legowo. Aku percaya mungkin keputusanmu memang baik untuk kita berdua. Mungkin disini memang awal dan akhir bagi hubungan kita. Akhir hubunganku denganmu, dan awal untukku memulai kembali lembaran-lembaran kisah tanpa seseorang yang aku sayangi”


”Maksudmu Bi...???”


”Iya Ri, aku mulai mengerti dan sangat memahami dengan apa yang kau putuskan tadi, meskipun itu berat dan sangat mengejutkan, namun aku berusaha untuk berfikir jernih menanggapi semua yang kau ungkapkan tadi. Aku juga tak akan bertindak seperti anak kecil yang akan memusuhimu setelah kejadian yang menurutku sangat dramatis ini. Aku akan tetap sama seperti biasanya, aku akan tetap sama memperlakukanmu seperti dulu, hanya saja saat ini hubungan kita yang membedakannya. Aku ikhlas Ri, aku ikhlas menerima semua ini..”


”Maafkan aku ya Bi, aku harap kau memang benar-benar faham kenapa aku mengambil keputusan ini. Akuuu....” bicaranya lirih. Ia pun perlahan mengumbar air matanya, aku pun tak mengerti betul kenapa ia tiba-menangis. Ku usap air mata itu, ku hapus linangan air mata yang sekejap melintasi pipinya.


”Sssstt... Sudahlah Ri, lagipula aku tidak apa-apa..”


”Mmm... ma, maa... maafkan aku ya Bi” lirihnya dengan sedikit terbata.


”Sudahlah Ri, mau sampai kapan kau akan terus meminta maaf seperti itu padaku. Lagipula kau tak salah sedikitpun Ri, dan lagipula aku tak sedikitpun menyimpan rasa benci atau dendam kepadamu. Lagipula semua ini kan memang jalan yang paling baik untukmu dan juga aku tentunya, meskipun saat ini ku belum merasakannya, toh aku tetap yakin suatu saat nanti aku bisa merasakan bahwa disini adalah pembelajaran paling utama bagiku dalam memahami seorang wanita. makasih ya Ri,” ucapku dengan sedikit lesu.


”makasih?” tanya dia pelan. ”makasih buat apa Bi?”


”terima kasih kau telah memberikan warna dalam perjalanan cintaku untuk beberapa waktu ini, meski hanya sesaat. Terima kasih juga kau telah mengajarkan satu hal penting kepadaku”


”apa????” tanya dia lebih penasaran lagi.


”Terima kasih kau telah mendidikku untuk mencintai seorang perempuan sebagaimana mestinya. Jujur Ri, aku sangat merasa nyaman ketika menjalani hubungan denganmu. Mungkin memang karena kau cinta dan pacar pertama dalam hidupku...”


”Maksudmu Bi??? Ku kira kau pernah mengalami jatuh cinta sebelumnya???!!!”


”Kau juga tahu Ri, bahwa aku tak mudah mencintai dan memberikan cintaku untuk orang lain. Entah kenapa aku merasa berbeda ketika melihatmu, seolah-olah rasa cinta yang aku punya selama ini ingin kumuntahkan kepadamu.”


”jadi maksudmu...???”


”Ya, meskipun setelah kejadian ini aku tak tahu harus berbuat apa. Aku akan berusaha menjalani setiap hari-hariku tanpa mendengar kicauan ceriwisanmu dan melodrama sikapmu dihadapanku. Dan entah kapan lagi hatiku ini akan terbuka untuk orang lain. Aku terlalu takut Ri, aku terlalu takut mengalami kisah yang sama seperti ini.”


”Bi, kadang memang hal terberat itu adalah hal yang kita rasakan sangat menyakitkan. Namun, sebenarnya hal itulah yang sering membuat kita lebih dewasa dari sebelumnya. Aku percaya padamu Bi, aku percaya kau bisa melewati ini semua. Aku percya kau bisa menjalani hari-hari tanpaku lagi. Toh kita masih bisa saling bertemu kan???”


”Mungkin hari ini adalah hari terakhirku melihatmu Ri...” Tegasku


”Maksudmu Bi????” tanya dia penuh rasa kaget.


”Ya Ri, selepas ini aku akan ikut orang tuaku ke Yogyakarta. Kemarin lusa ayahku mendapat rekomendasi untuk menjadi staf pengajar di Universitas Negeri di Yogyakarta, dan semua keluargaku harus pindah kesana, termasuk aku Ri. Sore ini kami akan berangkat lewat udara. Tadinya hari ini aku akan menyelesaikan pertengkaran yang sedang kita alami, aku tidak ingin pergi kesana dengan meninggalkan pertengkaran denganmu sehingga berlarut-larut seperti ini”


”Jadi kauuuu.....”


” Iya Ri, tadinya aku ingin menyelesaikan masalah yang sebenarnya sedang kita alami saat ini. Meskipun sebenarnya kita tidak tahu masalahnya apa sehingga kita bertengkar seperti ini. Aku ingin menyelesaikan masalahku denganmu dengan baik. Tadinya aku pikir masalah pertengkaran kita akan berakhir mulus dan kita tetap saling berhubungan. Tapi kini lain ceritanya, Mungkin memang yang terpenting pertengkaran kita telah selesai, meskipun saat ini kita tidak bisa bersama lagi. Aku hanya ingin pamit kepadamu Ri, semoga kau baik-baik disini. Dan semoga kau cepat mendapatkan penggantiku ya Ri...”


Berat rasanya kuucapkan kata-kata melankolis seperti itu, meskipun ini endingnya, sebenarnya ini bukan akhir kisah yang kuharapkan. Nyatanya, kini kami menjalani hari-hari secara sendiri. Tak ada kata sayang dan kata cinta, yang ada kini hanya sebatas kawan dan teman bercengkrama.


Dan kini, hubunganku dengan wanita yang kukenal selama beberapa waktu itu akan tetap kusimpan dalam sudut-sudut rasa rinduku untuk seorang makhluk istimewa bernama perempuan. Entah ia akan seperti apa selepas ku tinggalkan, begitu pula diriku, aku sendiri tak tahu harus seperti apa diriku setelah kehilangan dirinya. Mungkin ini adalah pertemuan terakhirku dengannya, pertemuan terakhir bersama seorang wanita yang sangat aku sayangi, karena entah kapan aku akan kembali kesini. Karena yang kutahu ayahku akan menjadi Dosen tetap disana. Meskipun pertemuan terakhirku dengannya berakhir dengan kisah seperti ini, aku tetap merasa lega karena masalahku kini telah selesai. Dan kini aku hanya bisa menerima semuanya menjadi sejarah yang akan kujadikan kenangan di kota yang telah membesarkanku ini....


Selepas itu, aku bergegas kembali kerumah karena sore ini aku akan menjalani perjalanan baruku, perjalanan di kota yang sangat aku nantikan.... Dan di depan mataku, aku akan menjadi manusia yang baru.


Selamat pagi dunia, Selamat datang yogya...


Sambutlah aku dengan keramahanmu....

AKU DAN KEPEDULIANKU (Reka Hijau-Hitam)

Detik demi detik, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun pun t’lah aku lewati dengan baju kusut si hijau hitamku ini. Tak peduli betapa kotornya baju yang ku kenakan ini. Bahkan selama aku memakainya, tak pernah sekali pun aku mencuci baju kebanggaan ku ini. Biar kata orang bau, biar kata orang penampilanku kuli, aku tak peduli! Biar semua orang bilang jijik, biar kata orang aku mirip gembel, bahkan aku semakin tak peduli lagi!! Tak ada urusan aku dengan semua itu, bahkan aku semakin tak peduli lagi ketika orang berkata bahwa itu juga adalah urusan kita bersama… aku tetap bilang nggak ada urusan dengan semua itu, karena mereka tak sedikitpun mengerti mengapa aku tak melepaskan baju kotor yang slalu kupakai ini.

Biarpun mereka mengiming-imingi untuk membelikanku baju yang lebih indah dan berbahan sutra, aku makin tak peduli lagi… semua itu hanya omong kosong, bulsheet belaka, bahkan aku makin tak peduli lagi dengan semua itu. Aku pikir tak ada yang lebih penting dalam tubuhku ini ketika aku memakai baju hijau hitamku satu-satunya ini. Aku lebih suka memakai baju ini tanpa harus mencucinya, mencucinya sama halnya dengan mencuci semua kenangan-kenangan yang pernah aku lintasi dengan berbaju hijau hitam ini. Dulu, ketika aku pertamakali memakainya, aku tersungkur dalam kubangan lumpur yang membuat rupaku tak nampak manusia, bahkan sempat pula aku menangis pilu karenanya, meski tubuhku sakit dan mulutku semakin mengoceh tak terhenti, aku tak sedikit pun peduli!!! Karena yang menuntun tujuanku adalah kaki ku sendiri, tak ada urusan sedikitpun dengan mulutku sendiri, mulutku hanya menghambat lajuku dan membuat pikiranku mengulang-ulang pemikiran tanpa makna yang real. Aku tak peduli dengan semua itu, tapi inilah kenangan pertamaku dengan baju ini. Lalu, sesampainya di rumah, aku pulang dengan suasana senang meski orang-orang melihatku dengan rasa jijik, bahkan aku juga tak peduli ketika orang-orang rumah memintaku membersihkan baju yang melekat dalam tubuhku ini, meski kata mereka bau, meski kata mereka kotor, meski apapun yang mereka katakan, aku makin tak peduli lagi dengan ocehan mereka semua. Namun, aku akan tetap membersihkan tubuhku tanpa harus mencuci baju yang kotor karena lumpur tadi.

Bukan karena aku malas, bukan karena mood ku hilang, aku hanya tak ingin menghapus kotoran yang semakin membuatku mengerti tentang hal yang membuatku semakin berarti, sampai kapanpun aku takkan pernah peduli ketika orang-orang di sekelilingku menyuruhku menggantinya, sekali aku bilang tak peduli, aku akan tetap bilang tidak. Dan sampai saat ini, sisa-sisa kotoran itu pun masih melekat pekat dalam setiap sisi baju hijau hitam ini. Sempat pula aku mengeringkan kotorannya dengan lidah ku sendiri, biar kumakan sendiri kotoran itu dalam perutku, meskipun itu akan menghancurkan system pencernaanku sendiri, aku takkan peduli dengan mulutku yang selalu membeo. Aku tak peduli, karena perutku saja tak peduli. Bahkan isi dalam peruku tak pernah peduli pada kondisi tubuhku sendiri, yang terpenting baginya adalah ada sebuah zat yang masuk dan mengakhiri sebuah mekanisme proses yang dilaluinya, entah itu proses ekstrim atau apa, aku makin tak peduli. Dan sampai saat ini aku masih tetap tak peduli akan semua itu. Namun, aku akan mulai peduli ketika tubuhku sendiri yang mulai meronta

SEBUAH PERUBAHAN MENUJU KEDEWASAAN BERSIKAP DAN BERFIKIR

Judul yang cukup panjang dan penuh tanda tanya, pertanyaan mengenai kenapa saya memberi judul tulisan saya ini dengan “Sebuah Perubahan Menuju Kedewasaan Berfikir dan Bersikap”. Sebuah perubahan terhadap apa saja dalam hidup kita sangat mungkin terjadi, perubahan tersebut semata-mata tidak hanya untuk melepaskan diri kita dari belenggu atau penjara masa lalu. Perubahan juga memungkinkan kita untuk memetakan masa depan (meski semuanya sudah ditakdirkan Allah bagi umatnya), tidak ada salahnya kita tetap berusaha untuk mencoba memperbaiki masa depan kita.

Banyak orang bilang bahwa masa lalu adalah sejarah, dan bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Pernyataan tersebut memang benar adaya, tetapi kita harus ingat, bahwa masa lalu cukup kita jadikan pelajaran saja, bukan kita sesali apalagi kita ratapi dan terpenjara dengan masa lalu kita. Yang harus kita lakukan sekarang adalah bagaimana caranya kita bisa memperbaiki masa depan kita tanpa melupakan masa lalu kita.
Kedewasaan berfikir dan bersikap lahir dan tumbuh dari masa lalu yang kita alami, pembelajaran-pembelajaran dari masa lalu itulah yang seharusnya bisa kita ambil sebagai pelajaran untuk menuju kedewasaan berfikir dan bersikap. Bahkan ketika suatu saat apa yang kita hadapi tidak seperti apa yang kita rencanakan kadang membuat hati kita, semangat kita, dan cita-cita kita rapuh.
Tidak perlu menceritakan kepada orang lain apa yang sudah kita lakukan untuk memperbaiki masa depan kita secara berlebihan, dan jangan menyalahkan keadaan ini karena apa yang kita peroleh adalah apa yang kita tanam di masa lalu. Rezeki, harta, keluarga, pekerjaan hanyalah titipan Allah kepada manusia. Allah dapat mengambil semua itu dengan sangat cepat tanpa bisa kita bayangkan. Hidup ini tidak akan berakhir hanya karena apa yang terjadi sekarang tidak seperti apa yang kita rencanakan, dan sekali lagi jangan menyalahkan keadaan.
Waktu masih terus berputar, jangan menyerah, jangan mengeluh, dan jangan berhenti berusaha. Tetap semangat untuk sebuah perubahan menuju kedewasaan berfikir dan bersikap demi memperbaiki masa depan.

1.Tapi kadang bagi sebagian orang mereka hanya sekedar menjalani, tanpa mengerti pembelajaran akan makna dari sejarah yang telah mereka lalui…bahkan tanpa berpikir tentang lukisan apa yang akan mereka gambar untuk masa depan…
Atau mungkin mereka terlalu keras hati untuk belajar?
Tentang makna sejarah, tentang masa depan, tentang kedewasaan, tentang perubahan…Manusia hanya berusaha, Allah yang menentukan segalanya…

KEMELUT DI BULAN APRIL (In Memorian, 28 April 2009)

kemelut dalam jiwaku mulai meronta,sempat ku kehilangan bidadari yang selama ini merangkulkan sayapnya di pundakku...

sayap yg bgitu lembut dan hangat, yg selalu melindungiku dari panasnya terik mentari..

sayap yang begitu membuatku nyaman saat ku bersandar dalam pangkuannya...

sempat nafasku tersekat oleh kemelut hasrat yang menghantam impianku sendiri, impianku mulai retak saat badai dan petir menggaungkanku...

aku mulai termenung bersama langit selepas hujan mendera bumi begitu derasnya...

aku mulai mengalunkan nafasku kembali setelah badai itupun mulai pergi,,,semua seolah terasa begitu nyamn kembali...

tak ada yang tersiksa dalam diriku sedikitpun,,,semua itu hnya aku tunjukkan demi keharibaanku pada yng maha menciptkan cinta...cinta dari segala cinta..

kini, aku mulai merangkai kembali tikar baru bersama bidadariQ...supaya esok ada sebuh bahn bagi kami berpijak dalam bumi ini...

satu hal yang hanya bisa aku ucapkan pada bidadariku,,
sedikitpun aku tak mau kehilanganmu bidadariku,,,
sedikitpun aku tak mampu melepaskan sayp2 yang telah ku rangkulkan di haribaanku...

yang aku butuhkan hnyalah berada disampingmu...
yang aku butuhkan hnyalah selalu bersamamu...
untuk slamanya...

seperti kata2 hati yang pernah kutorehkan di sehelai tissue kala itu...
SEMOGa KAU SELALU MENGINGATNYA di HATIMU...
LOVE YOU...{^_^}

MENCINTAI CINTA (LOVING IN LOVE)


Add caption
"Ada sebuah memory yang sangat menghadirkan jiwaku tentang keagungan arti sebuah cinta, 
cinta dengan penempatan yang tepat ketika kita meletakkannya, 
cinta dengan perasaan yang tulus ketika kita menghadirkannya, 
dan cinta dengan kemauan yang ikhlas ketika kita benar-benar mengharapkan kehadirannya dalam hati kita."

Sebuah mutiara klasik darinya yang selalu aku hidangkan ketika aku berada dalam batas kontemplasi yang menggairahkanku. Ia memang sosok perempuan yang sangat luar biasa untukku, ia mengajariku tentang banyak hal. Bahkan, kedewasaanku tumbuh ketika aku mulai belajar mencintainya dengan ketidak dewasaanku. Ia sungguh sosok bidadari yang selama ini aku permohonkan kepada Tuhan. Bidadari yang mampu meminjamkan sayapnya untuk menuntunku kepada yang maha memiliki cinta, membelaiku dengan kemaslahatan cinta-Nya. Bidadari yang bersedia melebarkan sayapnya untuk melelapkanku ketika aku mulai lelah dengan cintaku sendiri.
Namun, bagaimanapun aku akan tetap berada dalam setiap helai demi helai rencana yang Ia tuliskan unukku. Rencana yang memang terbaik untuk kehidupanku kelak. Sebuah skenario yang tiada bisa ku bergerak atas kuasa dari-Nya.
Aku masih sangat mengingat ketika ia melantunkan irama suaranya dengan penuh melodi di hadapanku.

“kehidupan itu akan menemukan sebuah akhir Abi, layaknya diary merah jambu yang kuberikan padamu, ia akan kembali menemukan akhir ketika kau masih ingin menulis kisah hidupmu di setiap helainya. Begitu pula hidup, ia akan mengakhiri waktumu ketika kau masih ingin berjalan di bumi ini dengan limpahan samudera kasihnya yang mengalir deras dalam sanubarimu. Dan seketika itu pula kau akan berada dalam cahaya-Nya yang kekal nan hakiki. Cintailah aku karena dia Abi, janganlah kau cintai diriku atas syahwat yang mendera dalam dirimu. Kita harus siap kehilangan sesuatu ketika kita memang tidak dibutuhkan untuk mendapatkannya kembali, Tuhan lebih tahu apa yag kita butuhkan daripada diri kita sendiri. Skenario Tuhan takkan pernah salah Abi, Ia akan selalu mengiringi dan membimbing kita menjadi sesuatu yang ideal, ideal menurut Tuhan dengan caranya yang paling lembut untuk kita. Dan tetap ingatlah bahwa Ia memang sangat mencintai kita, Abi. Ia mencintai kita dengan cara yang terbaik untuk kita mendapatknnya. Mendapatkan suatu hal yang memang ideal bagi diri kita.
Rencana yang pernah kita rangkai dengan penuh kepolosan ketika kita saling bertasbih dengan lantunan riak dedaunan itu masih tetap terukir dihatiku. Bahkan, ketika aku merenunginya dengan semua keresahanku, sinar bulan mengambilnya dariku, ia telah merangkainya di antara bingkai-bingkai langit yang sangat elok malam itu, dan selalu kulihat bintang-bintang semakin bersinar ketika aku menatapnya dengan sedikit resah dan tangis, ia hanya berusaha membuat senyumku kembali merona dan menjaga lukisan kisah yang telah kita ukir bersama waktu itu.
Abi, tangisan kecil ketika aku memelukmu saat itu, aku tak pernah sedikitpun mengharumkannya. Ia semakin harum dengan segala kemurnian yang ada saat itu, seperti kemurnian cintaku terhadapmu. Aku tak ingin mencintaimu karena keinginanku sendiri Abi, aku ingin mencintaimu ketika itu memang yang Tuhan inginkan untuk memiliki rasa ini bersamamu.
Aku sangat mencintaimu Abi, namun cintaku saat ini masih atas keinginanku sendiri. Aku tak ingin menuhankan rasa cintaku sendiri, aku hanya ingin menuhankan Tuhan yang maha memiliki rasa cinta ini. Biarlah rasa cinta yang ada dalam diri kita mengalir karena kecintaan Tuhan pada kita. Aku lebih mencintai Tuhanku daripada mencintai rasa cinta yang mengalir dalam hatiku. Aku ingin mencintai seseorang yang memang sangat aku butuhkan untuk lebih mencintai Tuhanku.
Aku sangat mencintaimu Abi, aku mencintaimu dengan segala kecintaanku yang membuatku sangat mencintai Tuhanku...

Satu hal yang harus tetap kita ingat bersama, Abi, ketika kita sama-sama mengawali sebuah perasaan dengan penuh kepolosan. Kepolosan yang kita rasa pantas untuk melakukannya. Kepolosan yang sengaja kita perbuat untuk Tuhan yang mendewasakan kita.
Abi, hati ini akan ada hanya untuk seseorang yang memang pantas melepaskan belenggu atas keresahanku selama ini. Belenggu yang selama ini aku ingin melepaskannya. Seseorang yang kuharap mampu melepaskan belenggu dalam hidupku, melepas belenggu tentang bagaimana mencari Tuhan dan mencintai Tuhan dengan cara yang sangat layak.
Kau akan mampu melakukannya jika memang cinta Tuhan yang dia sematkan di dadamu adalah untuk melepaskan belenggu itu dalam dadaku. Cinta yang memang mau membimbigku menuju jalan-Nya.
Harus pula kau tahu Abi, selalu ku berdoa kala malam mulai menghiasi bingkai langit dan menaburkan bintang-bintang untuk mencerahkan hati dan raut wajah orang-orang yang berharap akan cinta-Nya. Aku selalu berharap bahwa kaulah adam dalam kehidupan duniaku, dan aku selalu berharap bahwa aku adalah bagian dari tulang rusukmu yang selama ini kau cari.
Abi, aku harap engkaulah yang Tuhan perkenankan untukku, seseorang yang memang berhak untuk melepaskan belenggu ini. Aku percaya padamu Abi, karena keyakinanku yang membimbingku...”

Kata-kata yang menyadarkanku tentang sebuah rasa cinta yang selama ini tak pernah tepat untuk ku letakkan. Perkataan yang senantiasa membimbingku untuk meniadakan perasaan yang tak pantas aku berikan pada seorang pun. Perkataan yang mencerahkanku untuk tak pernah meletakkan syahwat dalam rasa cinta yang telah Ia berikan padaku.
Semoga, Tuhan masih membukakan cinta-Nya untukku, cinta yang semakin aku menyadari akan kehadiran-Nya di sisiku...