Selasa, 26 April 2011

SEDETIK YANG BERARTI

”Aku akan tetap bertarung disini,
bertarung dengan hasratku sendiri.
Meski awalnya itu sulit,
namun aku akan tetap diam.
Aku akan tetap diam dan mulai bicara dengan rasaku sendiri...”



Aku sadari, semua kini tak seperti dulu. Setiap tawa yang kau bisikkan di setiap lekuk telinga kini tak lagi terdengar. Seolah semua menjadi tuli. Semua seperti menghujam sangat keras saat kau berkata; ”tinggalkan aku Abi, mungkin tak semestinya kita bersama untuk saat ini. Aku yakin, kau mampu berhati besar menerima keputusanku ini. Kau juga harus tahu Bi, bahwa keputusanku ini tidak dengan sekejap dengan ku membayangkanmu. Kau harus tahu Abi, bahwa keputusanku ini tidak kulakukan dalam satu kedipan. Kau juga harus tahu Abi, bahwa keputusan ini yang paling tepat untuk kita berdua. Aku sudah berpikir banyak untuk mengatakan keputusan berat ini. Aku harap kau mampu untuk menerimanya, menerima semua keputusanku ini Bi. ”


Seketika dadaku begitu sesak, menghentikan aluran udara dalam diafragma kesetiaanku padanya. Kesejukan yang kurasa, tiba-tiba menjadi sangat menyakitkan setiap helaan nafasku untuknya, nafas yang senantiasa kuhembuskan lewat ketulusan cinta yang kusimpan dalam kepingan hatiku ini.


Ya, terkadang memang semua berlalu dengan sangat cepat. Seperti ketika ia mengatakan halitu padaku, hal yang menurutnya paling adil untuk diputuskan.


Mungkin semua ini memang salahku, aku terlalu mencintainya dengan sepenuh perasaan yang ku punya untuk seluruh manusia yang ada dalam bumi ini. Mungkin ia tak sangggup menerima gumpalan-gumpalan hasratku untuk menyayanginya di dalam genggamanku. Mungkin ia terlalu silau melihat keinginanku yang terlalu terang untuk sepenuhnya mencintai dia dalam kesetiaanku.


Mataku seketika kosong, tak ada tatapan yang berarti setelahnya. Aku hanya tak bisa mengerti mengapa ia berani memutuskan hal seperti itu


Lalu, kulihat ia dengan tatapan sederhana yang masih tersisa, mungkin itu tatapan terakhir untuknya, mungkin saja, sebab saat itu aku sedang berada dalam kepolosan menatap seorang wanita yang sebelumnya sangat aku harapkan untuk selalu bersama dalam bingkai-bingkai asmara yang telah kami rangkai bersama.


”Abi, kau baik-baik saja kan?” Suara itupun terdengar bergemetar dari bibir tipisnya,


Suara itu semakin membuat hatiku tak mampu bicara. Aku tak berani untuk menatapnya, karena aku terlalu takut membayangkan ini adalah saat terakhir menatapnya dengan penuh seribu tanda tanya. Tapi aku tak ingin bahwa aku terlalu lemah, terlalu lemah untuk memulai satu kata yang itu sangat berat kukatakan.


Ketegaranku sebagai seorang pria dewasa tampaknya dipertaruhkan disini. Sebuah harapan untuk merajut kasih sayang bersamanya kini tak ada lagi, aku harus berusaha untuk menutupnya. Aku harus berani, aku harus berani memulai cobaan yang sangat berat untukku.


”Abi... Abi, kau baik-baik saja kan?” Dan kata itu pun terdengar lagi ditelingaku, pertanyaan yang mengundang seribu makna yang ia tujukan untukku. Berulang kali sampai akhirnya kujawab dengan penuh lirih dan terbata-bata.


”mmm... Ya, kenapa Ri?” lirihku menjawab tanya darinya.


”Kau baik-baik saja kan Bi?? Atau...” getarnya padaku.


ku potong, dan kulanjutan perkataanya, karena aku takut ia akan mengasihiku karena keputusan yang ia sampaikan padaku tadi.


”Hmmm... Aku? Tenanglah Ri, aku baik-baik aja ko!”


”Benar kau baik-baik saja Bi?? Aku tahu ini berat bagimu, tapi,,, aku harap kau juga mau mengerti perasaanku Bi...” lirihnya.


”Bahwa kau tak mencintaiku lagi Ri?! Itukah yang membuatmu mengambil keputusan ini??” tanyaku lagi sambil sedikit memotong kembali ucapannya.


”Bukan Bi, bukan itu. Aku juga ingin kau tahu bahwa aku juga sangat berat mengambil keputusan ini, meskipun sebenarnya aku masih sangat mencintaimu. Aku mohon Bi, aku mohon padamu jangan menyakitiku dengan mengatakan hal seperti itu lagi... aku mohon padamu Bi...”


”Lantas apa Ri, jelaskan padaku...!!! aku hanya ingin mendengar satu alasan yang paling masuk akal sehingga kau memutuskan untuk seperti ini??? Apa Ri, coba jelaskan padaku...”


Seketika itu, semua menjadi hening. ia juga diam, diam dengan sedikit mencuri pandanganku. Mungkin ia sedikit ingin tahu raut wajahku ketika aku mendengar semua yang ia ucapkan. Ia semakin tak bisa menahan gelagat penyesalannya terhadapku, raut wajahnya penuh cemas dan kulihat semakin gundah. Sedangkan aku, aku hanya bisa diam dengan segudang rasa tanda tanya terhadapnya, aku sama sekali tak menyangka ia berbuat seperti itu. Bahkan aku sama sekali tak berpikir bahwa ia akan mengambil keputusan seperti itu.


Kami diam untuk beberapa waktu, tak ada kata, hanya ada sapuan angin yang berusaha menampar keheningan diantara kami, dan aku pun berusaha untuk menetralkan semua pikiran burukku untuk beberapa saat, dan hingga pada akhirnya aku berusaha untuk bersikap dewasa dan menatap matanya dengan penuh kelegaan yang mendera hatiku seketika itu. Perlahan, kuarahkan tanganku untuk merangkul tangannya, memegang dengan penuh pengharapan terakhirku untuknya, kupegang erat, dan aku mencoba untuk memegang dengan penuh kehati-hatian.


”Ri, kurasa memang semuanya harus berakhir disini. Meskipun semuanya begitu cepat, dan aku sendiri tak mengerti semua itu, entah lewat apa aku akan memahaminya, namun, semua itu harus aku terima dengan penuh rasa legowo. Aku percaya mungkin keputusanmu memang baik untuk kita berdua. Mungkin disini memang awal dan akhir bagi hubungan kita. Akhir hubunganku denganmu, dan awal untukku memulai kembali lembaran-lembaran kisah tanpa seseorang yang aku sayangi”


”Maksudmu Bi...???”


”Iya Ri, aku mulai mengerti dan sangat memahami dengan apa yang kau putuskan tadi, meskipun itu berat dan sangat mengejutkan, namun aku berusaha untuk berfikir jernih menanggapi semua yang kau ungkapkan tadi. Aku juga tak akan bertindak seperti anak kecil yang akan memusuhimu setelah kejadian yang menurutku sangat dramatis ini. Aku akan tetap sama seperti biasanya, aku akan tetap sama memperlakukanmu seperti dulu, hanya saja saat ini hubungan kita yang membedakannya. Aku ikhlas Ri, aku ikhlas menerima semua ini..”


”Maafkan aku ya Bi, aku harap kau memang benar-benar faham kenapa aku mengambil keputusan ini. Akuuu....” bicaranya lirih. Ia pun perlahan mengumbar air matanya, aku pun tak mengerti betul kenapa ia tiba-menangis. Ku usap air mata itu, ku hapus linangan air mata yang sekejap melintasi pipinya.


”Sssstt... Sudahlah Ri, lagipula aku tidak apa-apa..”


”Mmm... ma, maa... maafkan aku ya Bi” lirihnya dengan sedikit terbata.


”Sudahlah Ri, mau sampai kapan kau akan terus meminta maaf seperti itu padaku. Lagipula kau tak salah sedikitpun Ri, dan lagipula aku tak sedikitpun menyimpan rasa benci atau dendam kepadamu. Lagipula semua ini kan memang jalan yang paling baik untukmu dan juga aku tentunya, meskipun saat ini ku belum merasakannya, toh aku tetap yakin suatu saat nanti aku bisa merasakan bahwa disini adalah pembelajaran paling utama bagiku dalam memahami seorang wanita. makasih ya Ri,” ucapku dengan sedikit lesu.


”makasih?” tanya dia pelan. ”makasih buat apa Bi?”


”terima kasih kau telah memberikan warna dalam perjalanan cintaku untuk beberapa waktu ini, meski hanya sesaat. Terima kasih juga kau telah mengajarkan satu hal penting kepadaku”


”apa????” tanya dia lebih penasaran lagi.


”Terima kasih kau telah mendidikku untuk mencintai seorang perempuan sebagaimana mestinya. Jujur Ri, aku sangat merasa nyaman ketika menjalani hubungan denganmu. Mungkin memang karena kau cinta dan pacar pertama dalam hidupku...”


”Maksudmu Bi??? Ku kira kau pernah mengalami jatuh cinta sebelumnya???!!!”


”Kau juga tahu Ri, bahwa aku tak mudah mencintai dan memberikan cintaku untuk orang lain. Entah kenapa aku merasa berbeda ketika melihatmu, seolah-olah rasa cinta yang aku punya selama ini ingin kumuntahkan kepadamu.”


”jadi maksudmu...???”


”Ya, meskipun setelah kejadian ini aku tak tahu harus berbuat apa. Aku akan berusaha menjalani setiap hari-hariku tanpa mendengar kicauan ceriwisanmu dan melodrama sikapmu dihadapanku. Dan entah kapan lagi hatiku ini akan terbuka untuk orang lain. Aku terlalu takut Ri, aku terlalu takut mengalami kisah yang sama seperti ini.”


”Bi, kadang memang hal terberat itu adalah hal yang kita rasakan sangat menyakitkan. Namun, sebenarnya hal itulah yang sering membuat kita lebih dewasa dari sebelumnya. Aku percaya padamu Bi, aku percaya kau bisa melewati ini semua. Aku percya kau bisa menjalani hari-hari tanpaku lagi. Toh kita masih bisa saling bertemu kan???”


”Mungkin hari ini adalah hari terakhirku melihatmu Ri...” Tegasku


”Maksudmu Bi????” tanya dia penuh rasa kaget.


”Ya Ri, selepas ini aku akan ikut orang tuaku ke Yogyakarta. Kemarin lusa ayahku mendapat rekomendasi untuk menjadi staf pengajar di Universitas Negeri di Yogyakarta, dan semua keluargaku harus pindah kesana, termasuk aku Ri. Sore ini kami akan berangkat lewat udara. Tadinya hari ini aku akan menyelesaikan pertengkaran yang sedang kita alami, aku tidak ingin pergi kesana dengan meninggalkan pertengkaran denganmu sehingga berlarut-larut seperti ini”


”Jadi kauuuu.....”


” Iya Ri, tadinya aku ingin menyelesaikan masalah yang sebenarnya sedang kita alami saat ini. Meskipun sebenarnya kita tidak tahu masalahnya apa sehingga kita bertengkar seperti ini. Aku ingin menyelesaikan masalahku denganmu dengan baik. Tadinya aku pikir masalah pertengkaran kita akan berakhir mulus dan kita tetap saling berhubungan. Tapi kini lain ceritanya, Mungkin memang yang terpenting pertengkaran kita telah selesai, meskipun saat ini kita tidak bisa bersama lagi. Aku hanya ingin pamit kepadamu Ri, semoga kau baik-baik disini. Dan semoga kau cepat mendapatkan penggantiku ya Ri...”


Berat rasanya kuucapkan kata-kata melankolis seperti itu, meskipun ini endingnya, sebenarnya ini bukan akhir kisah yang kuharapkan. Nyatanya, kini kami menjalani hari-hari secara sendiri. Tak ada kata sayang dan kata cinta, yang ada kini hanya sebatas kawan dan teman bercengkrama.


Dan kini, hubunganku dengan wanita yang kukenal selama beberapa waktu itu akan tetap kusimpan dalam sudut-sudut rasa rinduku untuk seorang makhluk istimewa bernama perempuan. Entah ia akan seperti apa selepas ku tinggalkan, begitu pula diriku, aku sendiri tak tahu harus seperti apa diriku setelah kehilangan dirinya. Mungkin ini adalah pertemuan terakhirku dengannya, pertemuan terakhir bersama seorang wanita yang sangat aku sayangi, karena entah kapan aku akan kembali kesini. Karena yang kutahu ayahku akan menjadi Dosen tetap disana. Meskipun pertemuan terakhirku dengannya berakhir dengan kisah seperti ini, aku tetap merasa lega karena masalahku kini telah selesai. Dan kini aku hanya bisa menerima semuanya menjadi sejarah yang akan kujadikan kenangan di kota yang telah membesarkanku ini....


Selepas itu, aku bergegas kembali kerumah karena sore ini aku akan menjalani perjalanan baruku, perjalanan di kota yang sangat aku nantikan.... Dan di depan mataku, aku akan menjadi manusia yang baru.


Selamat pagi dunia, Selamat datang yogya...


Sambutlah aku dengan keramahanmu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar