Selasa, 26 April 2011

FITRAH MANUSIA SEBAGAI PEMIMPIN

”Jig tong, di do’akeun sing meunang.
Tapi lamun geus meunang korsi, 
ulah poho kana ayat kursi jeung ulah Korupsi!!!”


Menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah, tapi itu bukan hal yang sangat berat dan membebani kita. Untuk menjadi seorang pemimpin, kebanyakan orang sering merasa bahwa menjadi seorang pemimpin itu sulit, bahkan terkadang menjadi hal yang sangat menakutkan.

Mungkin paradigma awal itu terbentuk karena terlalu phobia mendengarkan kisah-kisah seorang pemimpin yang begitu banyak memerlukan perjuangan dan pengorbanan untuk memimpin bawahannya.
Ketakutan seseorang untuk menjadi seorang pemimpin, mungkin karena ia merasa bahwa dalam kursi kepemimpinannya nanti ia akan bekerja secara sendiri. Ia terlalu berfikir bahwa tidak akan ada seseorang yang akan membantu tugasnya sebagai seorang pemimpin. Bahkan lebih ironisnya lagi adalah, kebanyakan orang sering beranggapan bahwa dirinya tidak mampu bila ia menjadi seorang pemimpin.
Bukankah itu sebuah pemikiran yang sangat memprihatinkan bagi kita semua? Harus ada perubahan mind-set berfikir dan pemahaman kesadaran akan fungsi dan fitrah manusia sebagai seorang pemimpin, sehingga kesalahan berfikir (fallacy logic) dapat dihindari. Karena sebuah adat, kebudayaan, bahkan kehidupan abad modern yang tengah dibangun ini berawal dari sebuah proses pemikiran –dari alat berfikir- kita. Dan akibat dari cara berfikir kita yang salah, akhirnya kita malah berusaha menyengsarakan diri kita sendiri. Termasuk melemahkan fitrah kita sebagai seorang khalifah atau pemimpin di muka bumi.

Pada sejatinya kita adalah seorang pemimpin. Kita adalah pemimpin bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Namun, orang sering tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemimpin. Bukan hanya pemimpin bagi orang lain, bahkan ia tidak sadar bahwa dirinya juga adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. 
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat : sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi” (QS. 2:30). Al-Maraghi menyatakan bahwa makna khalifah diartikan sebagai jenis lain dari makhluk sebelumnya, atau dapat juga berarti sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan perintah-PerintaNya terhadap ummat manusia di muka bumi. 

Sebenarnya cukup sederhana dan tak perlu memerlukan banyak referensi untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal. Meskipun banyak tipologi dan metodologi dalam kepemimpinan, toh kita sendiri yang harus berimprovisasi dalam menjalankan kursi kepemimpinan untuk menjadi sosok pemimpin hangat yang dibutuhkan oleh bawahan kita. Referensi kita untuk menjadi seorang pemimpin yang baik dan amanah sebenarnya cukup Al-Qur’an dan as sunnah, bahkan, bisa dikatakan itu merupakan referensi yang lebih dari cukup. 
Abdul A’la al-Maududi menyatakan beberapa konsepsi ringkas tentang kekhalifahan, bahwa Pertama, manusia bukanlah penguasa mutlak, melainkan hanya wakil Allah yang mahakuasa (QS 2:31; 7:22). Kedua, setiap bangsa yang memperoleh kekuatan dan wewenang berkuasa di sebagian bumi ini sesungguhnya hanyalah wakil Allah atas daerah yang dikuasainya tersebut (QA 7:69, 74, 120; 1: 14). Ketiga, kekhalifahan yang syah, tidak dianugerahkan kepada satu pribadi tertentu saja, tidak juga kepada suatu warga atau kelas dari satu komunitas tertentu, melainkan kepada setiap orang yang yang beriman dan beramal saleh (QS 24:55).
Dari penjelasan di atas, sangat jelaslah bahwa semua orang itu adalah seorang pemimpin. Potensi kekhalifahan (kepemimpinan) manusia itu tidak untuk sebagian orang saja, melainkan untuk semua orang yang mampu beriman dan melakukan amal perbuatan yang baik bagi sesamanya. Dan untuk mencapai fitrah manusia sebagai seorang pemimpin, manusia harus melakukan usaha-usaha karena di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan, manusia memiliki posisi yang sangat unik dari makhluk ciptaan Allah lainnya.

Manusia diberi kebebasan berkehendak agar dirinya dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Misi inilah –perjuangan untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang bermoral atas dunia- yang disebut Al-Qur’an sebagai ”amanah” (QS 33:72). Karena itu, kekhalifahan (kepemimpinan) bagi manusia adalah ”amanah, tugas, dan sekaligus tanggung jawab”. Amanah kekhalifahan tersebut dapat dipikul oleh manusia, berkat karunia dan kasih sayang Allah yang memberi berbagai kelebihan kepada manusia, berupa akal, ilmu pengetahuan, hati, dan kebebasan berkehendak, sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengungkapkan berbagai rahasia makhluk ciptaan Allah lainnya.

Jadi, sebagai manusia yang bertanggung jawab dan menghargai akan anugerah Tuhan yang telah diberikan kepada kita, kita harus berkata ”ya” dan ”menyatakan kesiapan” ketika kita ditunjuk untuk memegang sebuah amanah kepemimpinan yang dihadapkan kepada kita. Dan petikan di awal tulisan ini seharusnya menjadi bahan ingatan bagi seorang pemimpin, bahwa selama dalam kepemimpinannya, seorang pemimpin jangan menyelewengkan kekuasaan dengan memperkaya diri dan senantiasa membawa bawahannya menuju jembatan jalan yang lurus (shiraath al mustaqiem) untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang diridhoi Allah subhanahu wata’ala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar