Selasa, 26 April 2011

AKU DAN KATA

Semuanya berawal dari sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagiku, peristiwa yang sebelumnya tidak aku rencanakan sedikitpun. Namun, yang sebenarnya ada satu hal atau bahkan mungkin lebih dari itu yang tanpa ku sadari di depan langkahku ada sebuah sekenario Tuhan yang telah membukakan jalan terang yang merupakan titik awal enlightment (pencerahan) dalam pemahaman hidupku selama ini.


Sore itu, sebuah rencana yang akan aku refleksikan sebagai konsistensi diriku dengan apa yang telah aku ucapkan pada seseorang. Seseorang yang telah aku rasa sebagai bagian penopang dalam mimpiku selama ini, mimpiku untuk merasakan indahnya kebersamaan dengan kewibawaanku sebagai seorang kakak. Ya, orang itu kurasakan sangat memenuhi kriteria idaman yang selama ini berhamburan dalam otakku. Kriteria seseorang yang simple, pendengar yang baik dan tipikal orang yang mau untuk ku ajak berkontemplasi dengan rasioku sendiri, rasio tanpa adanya sebuah referensi. Rasio yang menurutku sangat wajar, aku tak terlalu memerlukan seorang informan, karena itu hanyalah pemikiran statis mereka, pemikiran tanpa alur dan dinamika yang tak substantif. Sesuatu hal yang sangat membuatku jenuh dan membuatku merasa bukan sebagai seorang manusia lagi, atau dengan kata lain bisa ditulis dengan kata yang sangat elegan, ialah aku merasa bukan sebagai ”khalifah fil ardh” Tuhan di muka bumi ini. Aku sangat mengagumi rasioku sendiri daripada rasio mereka, sebab aku terlalu menghargai dzat yang telah melimpahkan anugrah pada diriku sendiri. Aku takkan menjadikan mereka tuhan-tuhan kecil dengan menjadikan rasio pemikirannya sebagai kiblatku dalam berucap. Karena satu yang selalu dan harus ku jadikan sebagai referensiku, ialah sesuatu dzat yang sangat ideal. Dzat yang selalu membuatku nyaman dengan idealisme yang ku letakkan, karena tujuan utamaku adalah menuju sebuah dzat yang sangat ideal dengan cara yang ideal pula.

Sesaat dalam perjalananku, aku berusaha untuk mengulur waktu yang dengan sengaja telah menghantam ketenanganku. Ketika dia berada di belakangku dan berjalan dengan penuh irama yang sempat membuatku tertawa mungil, ku abaikan bising kanan-kiri yang kadang menghujam pembicaraanku dengannya. Seketika pula, ketenangan itupun datang menyelimuti keresahan yang selama ini sering bersandar di pikiranku. Jalan-jalan yang sebenarnya gelap ketika kami melewatinya, bermetamorfosa memberikan cahayanya yang sederhana, meskipun redup, namun itulah hal yang menurutku sangat berarti ketika bersamanya. Karena cahaya yang paling terang bagiku saat itu adalah ketika dia berusaha memberikan tawanya untukku, tawa yang membuat resahku memaksa diri untuk pergi dari benak dan fikiranku. Meskipun tawanya kadang penuh dengan keterpaksaan, namun itu sesuatu yang ku anggap sangat natural. Karena menurutku takkan pernah ada seorangpun yang merasa dirinya ikhlas melakukan segala hal, meskipun mereka menyatakan melakukan semuanya demi dzat yang esa, dan akan menerima konsekuensi dari yang diaplikasikannya dalam sebuah alam yang ghaib, apakah itu sebuah nama yang dikatakan ’keikhlasan’?.

Dulu, sebelum ketika aku berhasrat untuk mencari definisi tentang dirinya, aku tak sempat menjelaskan semua makna tentang alfhabet. Aku hanya sempat berucap kata ”a”, dan tak sedikitpun makna yang kujelaskan padanya. Aku hanya sempat membunyikan suara dengan makna yang kosong. Itu bukan karena ”curiosity” ataupun ”sense of attention” ku yang memudar, namun hanya seseorang yang kurasakan sangat tepat untuk mengetahui makna dari alfhabet yang terangkai sangat sistematis itu. Bukan pula aku terlalu menghamburkan egoku sendiri, namun aku hanya bersandar pada rasio sederhana yang aku miliki. Dan yang aku rasakan itu merupakan sesuatu yang wajar, karena aku mempunyai hak perogratif atas segala hal yang berkaitan dengan diriku sendiri. Apakah aku salah dengan itu semua? apakah aku tak perlu melakukan itu dengan menistakan rasioku sendiri? Kurasa, itu bukanlah sesuatu yang tak perlu diperdebatkan, karena yang terpenting bagiku adalah bagaimana aku bisa mencari sesuatu yang ideal dan kembali dengan cara yang ideal.
Seperti perkataan dalam bahasa arab yang menyatakan; ”Innalillahi wa inna ilaihiraji’uun”. Sebuah kata yang tidak hanya mengandung semua rasa ketakutan bagi orang awam yang mendengarnya. Selain mengandung sebuah makna yang magic, namun itupun mengandung makna yang sesungguhnya sangat sakral dan substansial. Yang tak lain adalah ”sesuatu yang berawal dari Tuhan pasti akan kembali kepada-Nya”. Banyak sekali orang-orang awam mempersefsikan bahwa itu adalah sebuah ilusi ’tentang sakaratul maut’, ilusi orang-orang tentang kematian, hal klasik yang sering diperdebatkan para sufistik.

Kita terlalu dibuai oleh Pemahaman yang sangat sempit dari sebuah implikasi dengan doktrinasi yang kurang relevan, bahkan kemungkinan besar bisa sangat fatal. Seolah-olah kita tidak dibiarkan menjadi manusia yang benar-benar memanusiakan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri kita sendiri, menghambat kemanusiaan kita dengan proses kemandegan dalam berfikir. Karena salah satu kenapa manusia di tinggikan derajatnya dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain adalah dari rasio (akal) yang Tuhan anugerahkan kepada kita.
Apakah kita berwujud dalam lantai Tuhan ini hanya untuk mempermasalahkan hal-hal yang tidak ideal seperti itu? Hal-hal yang sering mempermasalahkan persoalan yang ghaib, perdebatan mulai dari kapan bumi ini berwujud, sampai perdebatan mengenai kapan bumi ini akan diberhentikan waktunya, dan ketika matahari berlari tak tahu dimana tempat yang sesungguhnya sangat ideal baginya, hingga sangkakala Tuhan mulai diperdengungkan di hadapan manusia hingga mereka bertebaran layaknya kapas. Apakah itu sebuah hal yang mesti diperdebatkan oleh kita?

Sampai-sampai kita sering terlena terhadap sejarah klasik dari kaum-kaum samiri, bahwa dikatakannya ada sebuah perwujudan irasional dari sosok manusia di zamannya itu, dan dia adalah salah satu makhluk yang ditangguhkan batas usianya di muka bumi ini oleh Tuhan. Para penggila keghaiban sejarah sering mengkultuskan dia sebagai suatu hal yang bisa menghancurkan peradaban cerah bumi yang selama ini telah di metamorfosis oleh Sang Revolusioner Zaman, Nabi Muhammad SAW.

Dalam perspektif filsafat, perkataan ”Innalillahi wa inna ilaihiraji’uun” berarti menuju sebuah tujuan yang pada hakikatnya adalah suatu dzat yang sangat ideal, ”sesuatu yang berawal dari yang ideal harus menuju sebuah pencapaian akhir dengan cara yang ideal pula”. Sebuah makna adiluhung yang penuh dengan makna keseimbangan. Bukankah ideal berarti menempatkan sesuatu yang harus berada pada tempatnya?

Kita merupakan sebuah bentuk manifestasi dari Tuhan, kita dan alam semesta adalah miniatur-miniatur Tuhan. Ada beberapa proses kejadian ketika Tuhan berfikir dan bercermin. Ketika Tuhan berfikir lalu terciptakan malaikat dan kemudian Ia bercermin, Ia tidak bisa melihat wujudnya dalam cermin meskipun unsur ciptaannya berawal dari nur. Kemudian, ketika Tuhan berifikir lalu terciptakan jin dan kemudian Ia bercermin kembali, Ia tidak melihat wujud-Nya dalam. Ketika Tuhan berfikir lalu terciptakan hamparan bumi, Ia masih tidak bisa melihat wujudnya dalam cermin. Namun, ketika Tuhan berfikir tentang suatu yang ideal kemudian terciptakanlah adam dalam bentuk manusia, dan ketika Tuhan bercermin ia bisa melihat wujudnya dalam cermin. 

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah Mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ”bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab : ”betul (Engkau Tuhan kami)”, kami menjadi saksi ...”

Harus ada sebuah kesadaran dalam diri setiap manusia agar ia bisa kembali menjadi sesuatu yang ideal, sebuah bahwa dia adalah manifestasi dari Tuhan itu sendiri, Sebuah kesadaran pula bahwa sifat-sifat Tuhan yang sesungguhnya telah dan masih termaktub dalam dirinya. Idealisme yang ideal dalam diri manusia adalah ketika dia menemukan kembali kefitrahannya. Fitrah manusia yang diawali dengan perjanjian primordial dalam bentuk pengakuan kepada Tuhan sebagai Dzat pencipta. Bentuk pengakuan tersebut merupakan penggambaran ketaklukan manusia kepada dzat yang lebih tinggi. Kesanggupannya menerima kontrak primordial tersebut mendapat konsekuensi logis dengan peniupan ruh Tuhan kedalam jasad manusia yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan terhadapa apa yang dilakukannya di dunia kepada pemberi mandat kehidupan.

Peniupan ruh Tuhan sekaligus menggambarkan refleksi sifat-sifat Tuhan kepada manusia. Maka seluruh potensi illahiyah secara ideal dimiliki oleh manusia. Prasyarat inilah yang memungkinkan manusia menjadi khalifah dimuka bumi. Seyogyanya tugas kekhalifan manusia dibumi berarti menyebarkan nilai-nilai illahiyah dan sekaligus menginterpretasikanrealitas sesuai dengan persfektif illahiyah tersebut. Namun proses materialisasi manusia melalui jasad menimbulkankensekuensi baru dalam dalam wujud reduksi nilai-nilai illahiyah. Manusia hidup dalam realitas fisik yang dalam konteks ini manusia hanya ”mengada” (being). Hanya dengan ”kesadaran” (consiousness) lah manusia menemukan realitas ”menjadi” (becoming). Manusia yang menjadi adalah manusia yang mempunyai kesadaran akan aspek transenden sebagai realitas tertinggi dalam hal ini konsepsi syahadat akan ditafsirkan sebagai monoteisme radikal. Kalimat syahadat pertama berisi negasi yang seolah meniadakan semua yang berbentuk tuhan. Kalimat kedua lalu menjadi afirmasi sekaligus penegasan atas Zat yang maha tunggal (Allah). Menjiwai konsepsi diatas maka perjuangan manusia adalah melawan sesuatu yang membelenggu manusia dari yang di-Tuhan-kan. Itulah thogut dalam persfektif Qur’an.

Dalam menjalani fungsi kekhalifahannya, maka internalisasi sifat-sifat Allah dalam diri manusia harus menjadi sumber inspirasi. Dalam konteks ini tauhid menjadi aspek progresif dalam menyikapi persoalan-persoalan mendasar manusia. Karena tuhan adalah pemelihara kaum yang lemah (rabbulmustadh’afin); maka meneladani Tuhan juga berarti keberpihakan kepada kaum mustadh’afin. Pemahaman ini akan mengarahkan pada pandangan bahwa ketauhidan adalah nilai-nilai yang bersifat transformatif, nilai-nilai yang membebaskan, nilai yang berpihak dan nilai-nilai yang bersifat revolusioner. Spirit inilah yang harus menjadi paradigma dalam sistem pemikiran kita.
Islam sebagai landasan nlai yang secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah yang terjadi dalam suatu komunitas/masyarakat (transformatif). Ia mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan dan idealisme yang dicita-citakan, yang untuk tujuan dan idealisme tersebut mereka rela berjuang dan berkorban bagi keyakinannya. Ideologi Islam senantiasa mengilhami dan memimpin serta mengorganisir perjuangan, perlawanan dan pengorbanan yang luar biasa untuk melawan semua status quo, belenggu dan penindasan terhadap umat Islam.

YaKoeSa...

* Ditulis dalam memenuhi salah satu tugas kemanusiaan, memanusiakan diri sendiri & orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar